إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

Hadits ini (versi pendeknya) juga dijadikan hujjah untuk melafadzkan niat ketika kita melaksanakan ibadah. Sehingga sejak kecil kita diajarkan bahwa niat sholat adalah Usolli fardho …. lillahi taala. Atau ketika puasa kita diajarkan mengucapkan Nawaitu Shouma Godin …. dst.., Apakah seperti itu maksud dari hadits ini sebenarnya?

Ringkasan hadits sangat terkenal sekali sehingga seringkali muncul di kitab2 hadits populer. Di dalam kitab Shahih Bukhari hadits ini menjadi hadits yang pertama dan menjadi pembuka, begitu pula dalam Arbain An Nawawi. Namun apakah maksud dari hadits yang sangat sering dipotong ini?

Isi lengkapnya adalah sbb:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ ‏”

“The reward of deeds depends upon the intentions and every person will get the reward according to what he has intended. So whoever emigrated for worldly benefits or for a woman to marry, his emigration was for what he emigrated for.”

Muhajir Ummu Qais

Asbabul wurud dari hadits tersebut adalah apa yang sejarawan biasa sebut tentang kisah muhajir Ummu Qais.

Ketika peristiwa hijrah, Rasulullah dikabari tentang ada seorang pria yang sebenarnya tak ingin ikut berhijrah. Ia bersusah payah berhijrah bukan untuk mendapatkan ridha Allah dan menyelamatkan keimanannya tapi karena ia ingin mendapatkan perhatian dari salah seorang sahabat wanita yang bernama Ummu Qais. Mendengar hal itu Rasulullah pun bersabda dengan hadits yang telah ditulis sebelumnya.

Tidak beramal karena takut tidak ikhlas

Salah satu kesalahan terbesar dalam memahami hadits tsb jika dilihat sepotong-potong adalah, ada sebagian orang yang beranggapan lebih baik tidak mengerjakan sama sekali daripada mengerjakan tetapi tidak ikhlas. Atau lebih baik sedikit tetapi ikhlas daripada banyak tetapi tidak ikhlas.

Jika diperhatikan baik-baik, hadits tersebut membandingkan dua orang yang sama-sama berhaji namun memiliki niat yang berbeda. Bukan membandingkan orang berhijrah dan yang tidak berhijrah. Orang yang melakukan selalu mendapatkan lebih dari yang tidak melakukan sama sekali.

Di hadits tersebut, Rasulullah tidak menyuruh orang yg tidak ikhlas itu kembali ke Mekah, melainkan hanya mengingatkan bahwa kesulitan yang ia dapatkan ketika berhijrah not even worth jika hanya untuk perhatian wanita semata.

Sebaliknya, tidak jadi beramal karena takut riya sesungguhnya sudah termasuk riya.

Fudhail bin Iyadh berkata,

تَرْكُ الْعَمَلِ لأَجْلِ النَّاسِ رِيَاءٌ ، وَالْعَمَلُ لأَجْلِ النَّاسِ شِرْكٌ ، وَاْلإِخْلاَصُ أَنْ يُعَافِيَكَ اللهُ مِنْهُمَا

“Meninggalkan amal kerena orang lain adalah riya, beramal karena orang lain adalah syirik, dan ikhlash adalah apabila Allah menyelamatkanmu dari keduanya.” (Syu’abul Iman, Al-Baihaqi) Majmu’atul Fatawa, Ibnu Taimiyah, 23: 174

Jadi, jangan jadikan ikhlas atau tidak ikhlas sebagai alasan kita tidak melakukan sesuatu.

Sambil menyelam minum air

Ada sebuah ayat dalam AlQuran yang cukup menarik tentang diperbolehkannya berdagang ketika sedang ihram. Ayat tersebut adalah:

لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ ۚ فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ ۖ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِنْ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّينَ

Al-Baqarah Ayat 198

[It is no crime in you if ye seek of the bounty of your Lord (during pilgrimage). Then when ye pour down from (Mount) Arafat, celebrate the praises of Allah at the Sacred Monument, and celebrate His praises as He has directed you, even though, before this, ye went astray.]

Latar belakang turunnya ayat tersebut adalah pada masa jahiliyah, para sahabat terbiasa beniaga di suatu pasar yang disebut dengan Ukadz, Majinnah, dan Dzulmajaz. Mereka khawatir jika niat mereka untuk berhaji ternodai gara-gara mereka berniaga pada saat menunaikan ibadah haji.

Mengapa para sahabat berniaga di pasar tersebut?

Apakah mereka kehabisan bekal ketika berhaji?

Tidak, Mereka berdagang bukan karena masalah finansial, mereka hanya “terbiasa” berdagang di sana pada zaman Jahiliah. Namun sekarang mereka datang bukan untuk berdagang, melainkan untuk berhaji. Apakah mereka diperbolehkan melakukan tradisi yang biasa mereka lakukan di pasar tersebut? Toh, arah haji dengan pasar tsb masih searah. Kenapa tidak sekalian saja?

Imam Ahmad meriwayatkan,

dari Abu Umamah at-Taimi, ia menceritakan, pernah kukatakan kepada Ibnu Umar,

“Sungguh, kami ini penjual jasa, apakah kami termasuk orang yang berhaji?”

Ibnu Umar menjawab, “Bukankah kalian melakukan thawaf di Baitullah, datang ke Arafah, melempar jumrah, dan mencukur rambut kalian?”

“Benar,” jawab kami.

Lebih lanjut Ibnu Umar berkata, “Ada seseorang datang kepada Nabi, lalu ia menanyakan sesuatu yang engkau tanyakan kepadaku, dan beliau tidak menjawabnya sehingga turun Jibril kepada beliau dengan membawa ayat ini: laisa ‘alaikum junaahun an tabtaghuu fadl-lam mir rabbikum (“Dan tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia [rizki hasil perniagaan] dari Rabb-mu.”) Kemudian Nabi memanggilnya seraya bersabda, ‘Ya, kalian boleh menunaikan ibadah haji.’”

Al-Baqarah 198 beserta sebab turunnya sering dijadikan dalil untuk melakukan aktifitas lain dan maksud lain dalam ibadah. Asalkan hal tersebut cuma tambahan dan tidak mengurangi atau mengganggu ibadah utama, ya gapapa.

TL;DR

Ikhlas adalah sesuatu yang harus dibiasakan. Jangan jadikan tidak ikhlas atau takut riya menjadi penghalang dalam beribadah.

Wallahu a’lam bish-shawabi

Reference :

  • https://www.sunnah.com/bukhari/1/1
  • https://www.sunnah.com/nawawi40
  • https://quran.com/2/198
  • https://alquranmulia.wordpress.com/2015/04/07/tafsir-ibnu-katsir-surat-al-baqarah-ayat-198/